Senin, 22 September 2014

MADING " TA'ARUF"




Karena Kau Jodohku
Aku baru saja pulang kerja, ketika kudapati bapak dan ibu tengah berbincang tentang pernikahanku dengan anak seorang rentenir. Bapak dan ibu sebenarnya juga tak menginginkan pernikahan itu. Tapi keadaan membuat aku juga orang tuaku tak berkutik. Ya, pernikahan itu diiringi ancaman bila aku atau keluargaku menolaknya, akan ada yang dilukai, termasuk keluarga calon suamiku.
Ya, sebenarnya statusku saat itu sudah dilamar orang. Seorang laki-laki yang kukenal shalih dan rajin beribadah, pintar juga seorang sarjana yang sudah mapan. Dan yang pasti, kami saling cinta. Kami sudah bertemu tiga kali selama proses ta’aruf sampai khitbah. Tapi keadaan membuat aku dan keluarga mundur, dengan alasan menghindari mudharat yang lebih besar. Awalnya berhari-hari aku menangis menolak dan ingin pergi dari rumah. Alhamdulillah, akal sehatku masih berpikir waras. Bila aku pergi, masalah akan kian runyam dan memperkeruh masalah. Akhirnya setelah istikharah, aku memilih menghadapi semua. Mengalir mengikuti alur takdir.
Kalau saja anak dan keluarga itu tidak mengancam keselamatan kami aku tentu  akan bias menolaknya dengan mudah. Bagaimana aku bisa menikah dengan laki-laki kasar, pemabuk, penjudi, pemakan riba dengan tubuh penuh gambar tato? Sungguh aku tak pernah memimpikannya. Tapi kenyataan itu benar-benar harus kuhadapi. Meski dengan segala keterpaksaan. Aku tak mau orang-orang yang kusayangi harus disakiti dan menderita karena penolakanku.
Untungnya keluarga calon suamiku bisa arif menyikapi masalah ini. Meski pada awalnya terkejut dan kecewa, keluarga dan juga calon suami bisa mengerti bahkan jatuh iba padaku. Sungguh semua itu terasa menjadi beban mental yang berat untukku, untuk keluargaku juga untuk keluarga calon suamiku. Tapi kami tak bisa berbuat apa-apa. Ancaman dari anak rentenir itu terlalu berisiko.
Semua orang mengenal bagaimana sepak terjang keluarga rentenir juga anaknya. Membuat onar dan keributan adalah hal lumrah yang jadi pemandangan sehari-hari di tempat kami tinggal. Mereka dan tukang tagihnya tak segan mengobrak-abrik rumah atau bahkan memukul dan menyakiti saat menagih hutang. Perilakunya sadis dan nekad tanpa rasa takut. Penjara tak membuat jera.
Hari H yang semakin dekat membuat kegelisahanku memuncak. Aku sering menangis. Ibu dan bapak pun demikian. Mereka mengerti apa yang aku rasakan. Tapi, yach…, kami tak bisa berkutik.
Seperti, bila ia tiba-tiba datang dalam keadaan mabuk berat ke rumah. Hal itu terjadi berulang kali. Kami sekeluarga begitu benci dan risih dengan kehadirannya. Mulutnya mengoceh tak karuan. Bahkan tak jarang ia mabuk sambil mengacungkan senjata tajam menantang semua orang yang berani menentang dan menghalangi pernikahannya denganku.
Siang malam tak henti aku memohon pada Allah, agar  melepaskan aku dan keluargaku dari himpitan permasalahan ini. Doaku terjawab. Entah harus kasihan atau harus gembira saat

kami mendengar pemuda begajulan ini meregang nyawa, setelah menenggak minuman oplosan. Motornya menabrak pal di tepi jalan. Temannya tewas di tempat. Setelah dua hari di ICU, ia akhirnya tak tertolong…
Dalam hati aku bersyukur pada Allah, telah lepas dari satu masalah. Tapi masalah lain menantiku. Aku teringat kembali dengan rencana pernikahanku dengan pria pertama. Aku memang  berharap masih bisa melanjutkan khitbah itu  ke jenjang pernikahan. Mungkinkah? Sementara dulu aku dan keluarga yang mengakhiri karena alasan di atas. Aku dan keluarga hanya pasrah pada Allah atas semua yang menimpa kami.
Subhanallah, ternyata pria pertama dan keluarganya punya pikiran yang sama denganku. Setelah menunggu suasana mereda, ada utusan dari keluarga pria yang menghendaki hubungan yang telah kami rajut berlanjut. Setelah berembug, kami mengambil kata sepakat untuk segera menikah.
Walhamdulillah, mimpi ke pelaminan akhirnya bisa kami wujudkan, setelah kami lalui masa-masa sulit. Kini tiga momongan yang lucu telah hadir menghiasi hari-hari kami. Semoga keluarga yang kami bangun selalu berhias sakinah, mawadah, warahmah. Amin


"APABILA datang laki-laki (untuk meminang) yang kamu ridhoi agamanya dan akhlaknya maka nikahkanlah dia, dan bila tidak kamu lakukan akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang meluas." (HR. Tirmidzi dan Ahmad).
“Aku menyukaimu karena kebaikanmu. Karena kejujuranmu dan karena keindahan karakter dan kebenaran kata-katamu.”


Kisah cinta terindah zaman rasul
3. Abdurrahman ibn Abu Bakar
Abdurrahman bin Abu Bakar Ash Shiddiq dan istrinya, Atika, amat saling mencintai satu sama lain sehingga Abu Bakar merasa khawatir dan pada akhirnya meminta Abdurrahman menceraikan istrinya karena takut cinta mereka berdua melalaikan dari jihad dan ibadah. Abdurrahman pun menuruti perintah ayahnya, meski cintanya pada sang istri begitu besar.
Namun tentu saja Abdurrahman tak pernah bisa melupakan istrinya. Berhari-hari ia larut dalam duka meski ia telah berusaha sebaik mungkin untuk tegar. Perasaan Abdurrahman itu pun melahirkan syair cinta indah sepanjang masa:
Demi Allah, tidaklah aku melupakanmu

Walau mentari tak terbit meninggi
Dan tidaklah terurai air mata merpati itu
Kecuali berbagi hati
Tak pernah kudapati orang sepertiku
Menceraikan orang seperti dia
Dan tidaklah orang seperti dia dithalaq karena dosanya
Dia berakhlaq mulia, beragama, dan bernabikan Muhammad
Berbudi pekerti tinggi, bersifat pemalu dan halus tutur katanya


Akhirnya hati sang ayah pun luluh. Mereka diizinkan untuk rujuk kembali. Abdurrahman pun membuktikan bahwa cintanya suci dan takkan mengorbankan ibadah dan jihadnya di jalan Allah. Terbukti ia syahid tak berapa lama kemudian.


MAKNA TA’ARUF
Secara bahasa ta’aruf bisa bermakna ‘berkenalan’ atau ‘saling mengenal’. Asalnya berasal dari akar kata ta’aarafa. Seperti ini sudah ada dalam Al-Qur’an. Simak saja firman Allah (yang artinya),
“Hai manusia sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari seorang pria dan seorang wanita, lalu menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal (ta’arofu) …” (QS. Al Hujurat: 13).