BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam tubuh terdapat berbagi macam
hormone yang dihasilkan oleh berbagai macam organ atau kelenjar seperti
diantaranya kelenjar suprarenal yang terbagi menjadi 2 yaitu medulla adrenal
dan karteks adrenal dimana kelenjar-kelenjar ini menghasilkan berbagai macam
hormon yang sangat berguna dari tubuh. Kelainan ataupun gangguan pada kelenjar
adrenal tentu akan berpengaruh pada tubuh.
B.
TUJUAN
1.
Tujuan umum
Untuk mengetahui konsep asuhan
keperawatan pada klien dengan disfungsi kelenjar adrenal
2.
Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui anatomi fisiologi kelenjar adrenal
b.
Untuk mengetahui disfungsi kelenjar
adrenal
c.
Untuk mengetahui konsep asuhan
keperawatan pada hiperfungsi adrenal
BAB II
HYPERFUNGSI ADRENAL
A. ANATOMI FISIOLOGI KELENJAR
ADRENAL
Kelenjar adrenal adalah dua struktur
kecil yang terletak di atas masing-masing ginjal. Pada masing-masing kelenjar
adrenal tersebut terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian luar (korteks) dan
bagian tengah (medulla). Bagian medulla menghasilkan hormon amina, sedangkan
bagian korteks menghasilkan hormon steroid
1. MEDULA ADRENAL
Medula
adrenal dianggap juga sebagai bagian dari sistem saraf. Sel-sel sekretorinya
merupakan modifikasi sel-sel saraf yang melepaskan dua hormon yang berjalan
dalam aliran darah: epinephrine (adrenalin) dan norephinephrin (noradrenalin).
Peranan
adrenalin pada metabolisme normal tubuh belum jelas. Sejumlah besar hormon ini
dilepaskan dalam darah apabila seseorang dihadapkan pada tekanan, seperti
marah, luka atau takut. jika hormone adrenalin dilepaskan dalam tubuh, hormone
menimbulkan tanggapan yang sangat luas, laju dan kekuatan denyut jantung
meningkat sehingga tekanan darah meningkat. Kadar gula darah dan laju
metabolisme meningkat sehingga memungkinkan udara masuk dan keluar paru-paru
lebih mudah, pupil mata membesar. Hormon noradrenalin juga menyebabkan
peningkatan tekanan darah
2. KORTEKS ADRENAL
Stimulasi
korteks oleh sistem saraf simpatetik menyebabkan dikeluarkannya hormon ke dalam
darah yang menimbulkan respon “fight or flight”. Korteks adrenal korteks
adrenal mensekresi tiga kelompok hormon.
3. KORTEKS ADRENAL
Stimulasi
korteks oleh sistem saraf simpatetik menyebabkan dikeluarkannya hormon ke dalam
darah yang menimbulkan respon “fight or flight”. Korteks adrenal korteks
adrenal mensekresi tiga kelompok hormon.
B. DISFUNGSI KELENJAR ADRENAL
Disfungsi kelenjar adrenal merupakan gangguan
metabolic yang menunjukkan kelebihan/defisiensi kelenjar adrenal (Rumohorbo
Hotma, 1999).
Hiperfungsi
Kelenjar Adrenal
a.
Sindrom Chusing
Sindrom cushing disebabkan oleh
sekresi berlebihan steroid adrenokortikal, terutama kortisol. Gejala klinis
bisa juga ditemukan oleh pemberian dosis farmakologis kortikosteroid sinetik
b.
Sindrom Adrenogenital
Penyakit yang disebabkan oleh
kegagalan sebagian atau menyeluruh, satu atau beberapa enzim yang dibutuhkan
untuk sintesis steroid
c.
Hiperaldosteronisme
1)
Hiperaldostirodisme Primer (Sindrom
Chon)
Kelainan
yang disebabkan karena hipersekresi aldosteron autoimun
2)
Aldosteronisme Sekunder
Kelainan
yang disebabkan karena hipersekresi rennin primer, ini disebabkan oleh
hyperplasia sel juksta glomerulus di ginjal
C. HIPERFUNGSI ADRENAL (SINDROM
CHUSING)
1.
PENGERTIAN
Sindrom
cushing adalah keadaan klinik yang terjadi akibat dari paparan terhadap
glukokortikoid sirkulasi dengan jumlah yang berlebihan untuk waktu yang lama
(Green Span, 1998). Penyakit cushing didefinisikan sebagai bentuk spesifik
tumor hipofisis yang berhubungan sekresi ACTH hipofisis berlebihan. Sindrom
cushing dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, yaitu:
a.
Penyakit cushing
Merupakan tipe sindroma cushing yang
paling sering ditemukan berjumlah kira-kira 70% dari kasus yang dilaporkan.
Penyakit cushing lebih sering pada wanita (8:1, wanita:pria) dan umur saat
diagnosis biasanya antara 20-40 tahun.
b.
Hipersekresi ACTH ektopik
Kelainan
ini berjumlah sekitar 15% dari seluruh kasus Sindroma Cushing. Sekresi ACTH
ektopik paling sering terjadi akibat karsinoma small cell di paru-paru, tumor
ini menjadi penyebab pada 50% kasus sindroma. Sindroma ACTH etopik lebih sering
pada laki-laki. Rasio wanita:pria adalah 1:3, dan insiden tertinggi pada umur
40-60 tahun.
c.
Tumor-tumor Adrenal Primer
Tumor-tumor
adrenal primer menyebabkan 17%-19% kasus-kasus Sindroma Cushing.
Adenoma-adenoma adrenal yang mensekresi glukokortikoid lebih sering terjadi
pada wanita. Karsinoma-karsinoma adrenokortikal yang menyebabkan kortisol
berlebih juga lebih sering terjadi pada wanita; tetapi bila kita menghitung
semua tipe, maka insidens keseluruhan lebih tinggi pada laki-laki. Usia
rata-rata pada saat diagnosis dibuat adalah 38 tahun, 75% kasus terjadi pada
orang dewasa.
d. Sindroma Cushing pada Masa Kanak-kanak
Sindroma Cushing
pada masa kanak-kanak dan dewasa jelas lebih berbeda. Karsinoma
adrenal merupakan penyebab yang paling sering dijumpai (51%), adenoma adrenal
terdapat sebanyak 14%. Tumor-tumor ini lebih sering terjadi pada usia 1 dan 8
tahun. Penyakit Cushing lebih sering terjadi pada populasi dewasa dan berjumlah
sekitar 35% kasus, sebagian besar penderita-penderita tersebut berusia lebih dari
10 tahun pada saat diagnosis dibuat, insidens jenis kelamin adalah sama.
2.
ETIOLOGI
a.
Glukokartikoid yang berlebihan
b.
Aktifitas korteks adrenal yang
berlebih
c.
Hiperplasia korteks adrenal
d.
Pemberian kortikosteroid yang berlebih
e. Sekresi steroid adrenokortikal yang berlebih terutama
kortisol
f.
Tumor-tumor non hipofisis
g.
Adenoma hipofisis
h.
Tumor adrenal
3.
PATOFISIOLOGI
Hiperfungsi
korteks adrenal dapat terjadi tanpa tergantung pada kontrol ACTH seperti pada
tumor atau hyperplasia korteks adrenal nodular bilateral dengan kemampuannya
untuk menyekresi kortisol secara autonomi dalam korteks adrenal. Tumor korteks
adrenal yang akhirnya menjadi sindrom cushing dapat jinak (adenoma) atau ganas
(karsinoma). Adenoma korteks adrenal dapat menyebabkan sindroma cushing yang berat,
namun biasanya berkembang secara lambat, dan gejala dapat timbul bertahun-tahun
selama diagnosis ditegakkan. Sebaliknya, karsinoma adrenokortikal berkembang
cepat dan dapat menyebabkan metastasis serta kematian.
Adanya
sindroma cushing dapat ditentukan berdasarkan riwayat kesehatan dan pemeriksaan
fisik yang telah dijelaskan diatas. Diagnosis umumnya ditegakkan berdasarkan
kadar kortisol yang abnormal dalam plasma dan urine. Tes-tes spesifik dapat
menentukan ada atau tidaknya irama sirkadian normal pelepasan kortisol dan
mekanisme pengaturan umpan balik yang sensitive. Tidak adanya irama sirkadian
dan berkurang atau hilangnya kepekaan system pengaturan umpan balik merupakan
cirri sindrom cushing.
4.
MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi
klinik yang sering ditemukan pada penyakit sydrom cushing antara lain obesitas
sentral, gundukan lemak pada punggung, muka bulat (moon face), striae,
berkurangnya massa otot dan kelemahan umum.
Tanda
dan gejala lain yang dapat ditemukan pada sindrom cushing seperti
atripi/kelemahan otot ekstremitas, hirsutisme (kelebihan bulu pada wanita),
ammenorrhoe, impotensi, osteoporosis, atropi kulit, akne, udema., nyeri kepala,
mudah memar dan gangguan penyembuhan luka. (Buku Ajar Ilmu Bedah, R.
Syamsuhidayat, hal. 946)
5.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.
Pemerisaan
laboratorium
1) Penurunan
konsentrasi glukosa darah dan natrium (hipoglikemia dan hiponatremia)
2)
Peningkatan kosentrasi kalium serum
(hiperkalemia)
3)
Peningkatan jumlah sel darah putih
(leukositosis)
4) Penurunan kadar kortisol serum
5) Kadar kortisol plasma rendah
b.
Pemeriksaan radiografi abdominal menunjukan
adanya kalsifikasi diadrenal
c.
CT Scan
Detektor kalsifikasi adrenal dan
pembesaran adrenal yang sensitive hubungannya dengan insufisiensi pada
tuberculosis, infeksi, jamur, penyakit infiltratif malignan dan non malignan,
dan haemoragik adrenal
d. Gambaran EKG
Tegangan rendah
aksis QRS vertical dan gelombang ST non spesifik abnormal sekunder akibat
adanya abnormalitas elektrolit
6.
PENATALAKSANAAN
a.
Medik
1)
Terapi dengan pemberian kortikosteroid
setiap hari selama 2 sampai 4 minggu dosis 12,5 sampai 50 mg/hari
2)
Hidrokortison
(solu- cortef) disuntikan secara IV
3)
Prednison (7.5 mg/hari)dalam dosis
terbagi diberikan untuk terapi pengganti kortisol
4)
Pemberian
infuse dekstrosa 5%dalam larutan saline
5)
Fludrokortison:
0,05-0,1 mgper oral dipagi hari
b.
Keperawatan
1) Pengukuran TTV
2)
Memberikan rasa nyaman dengan mengatur
atau menyediakan waktu istirahat pasien
3)
Menempatkan pasien dalam posisi
setengah duduk dengan kedua tungkai ditinggikan
4) Memberikan suplemen makanan dengan
penambahan garam
5) Follow up:
mempertahankan berat badan, tekanan darah dan elektrolit yang normal disertai
regresi gambaran klinis
6) Memantau
kondisi pasien untuk mendeteksi tanda dan gejala yang menunjukan adanya krisis
Addison
7.
KOMPLIKASI
a. Syok (akibat dari infeksi akut atau penurunan asupan
garam)
b.
Kolaps sirkulasi
c.
Dehidrasi
d.
Hiperkalemia
e.
Sepsis
Krisis Addison disebabkan karena
hipotensiakut (hiperkortisolisme) ditandai dengan sianosis, panas, pucat,
cemas, nadi cepat.
BAB
III
KONSEP
KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
a.
Data biografi: nama, usia, jenis
kelamin
b.
Riwayat kesehatan sekarang
1)
Data subjektif
-
Amenorea
-
Nyeri punggung
-
Mudah lelah/kelelahan otot
-
Sakit kepala
-
Luka sukar sembuh
2)
Data objektif
·
Integument
-
Penipisan kulit striae
-
Petechie-hirsutisme (pertumbuhan bulu
wajah)
-
Ekimosis-edema pada ekstremitas
-
Jerawat-hiperpigmentasi
-
Moonface
·
Kardiovaskuler
Hipertensi
·
Musculoskeletal
-
Kelemahan otot
-
Miopati
-
Osteoporosis
·
Reproduktif
Pembesaran
klitoris
·
Makanan dan cairan
-
Obesitas
-
Hipokalemia
-
Retensi natrium
·
Psikiatri
-
Perubahan emosi
-
Psikosis
-
Depresi
-
Penurunan konsentrasi
·
Pembelajaran
Kurang pengetahuan tentang
kondisi penyakit, prognosis dan pengobatannya
B. DIAGNOSA
a.
Kelebihan volume cairan b/d sekresi
kortisol berlebihan karena sodium dan retensi cairan
b.
Kelebihan volume cairan b.d sekresi
kortisol berlebih karena sodium dan retensi cairan
c.
Intoleransi aktivitas b.d kelemahan otot dan
perubahan metabolisme protein
d.
Resiko infeksi b.d penurunan respon imun,
respon inflamasi
e.
Resiko cidera b.d kelemahan
f.
Gangguan integritas kulit b.d kerusakan
proses penyembuhan, penipisan dan kerapuhan ku lit
g.
Defisit perawatan diri b.d penurunan masa otot
h.
Kurang pengetahuan b.d kurang informasi
mengenai pengobatan, proses penyakit dan perawatan
C. PERENCANAAN & INTERVENSI
·
Tujuan
1.
Klien menunjukkan keseimbangan volume
cairan setelah dilakukan tindakan keperawatan dengan kriteria hasil TTV dalam
batas normal, intake output seimbang, BB dalam batas normal
2.
Klien menunjukkan aktifitas kembali
normal setelah dilakukan tindakan keperawatan dengan kriteria hasil menunjukkan
peningkatan kemampuan dan berpartisipasi dalam aktivitas, TTV dalam batas
normal
3.
Infeksi tidak terjadi setelah dilakukan
intervensi dengan kriteria hasil tanda-tanda infeksi tidak ada, suhu normal
36,5-37,1°C
4.
Klien tidak mengalami cidera setelah
dilakukan intervensi dengan kriteria hasil cedera jaringan lunak dan fraktur
tidak terjadi s
5.
Klien menunjukkan integritas kulit
kembali utuh setelah dilakukan tindakan
keperawatan dengan kriteria hasil keadaan kulit baik dan utuh, tidak terjadi
penipisan kulit, serta tidak terjadi edema pada ektremitas
6.
Klien menunjukkan perawatan diri yang
maksimal dengan kriteria hasil klien ikut serta dalam kativitas perawatan diri,
klien mengalami peningkatan dalam perawatan diri, klien bebas dari komplikasi
imobilitas
7.
Pengetahuan klien bertambah dengan
kriteria hasil klien mengatakan pemahaman penyebab masalah, klien mau berpartisipasi
dalam roses belajar
·
Intervensi
1.
Ukur intake output
Rasional: menunjukkan status volume
sirkulasi terjadinya perpindahan cairan dan respon terhadap nyeri
2.
Ukur TTV
3. Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktivitas
Rasional: mengetahui
tingkat perkembangan klien dalam melakukan aktivitas
4.
Kaji tanda-tanda infeksi
Rasional: Adanya tanda-tanda infeksi (tumor,
rubor, dolor, calor, fungsio laesa) merupakan indicator adanya infeksi
5.
Ciptakan lingkungan yang
protektif/aman
Rasional: Lingkungan yang
protektif dapat mencegah jatuh, fraktur dan cedera lainnya pada tulang dan
jaringan lunak
6.
Ubah posisi klien tiap 2 jam
Rasional:
Mengetahui
kelaianan / perubahan kulit serta untuk menentukan intervensi selanjutnya
7. Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktivitas
perawatan diri
Rasional:
Dapat
mengetahui kemampuan klien dan memudahkan intervensi selanjutnya.
8. Bantu klien dalam melakukan aktivitas perawatan diri
Rasional:
Pemenuhan
kebutuhan perawatan diri klien.
9.
Kolaborasi dalam pemberian obat
D.
IMPLEMENTASI
Implementasi
dilakukan sesuai intervensi yang disesuaikan dengan kondisi klien.
E.
EVALUASI
1.
Kebutuhan volume cairan kembali adekuat.
2.
Klien toleransi terhadap aktivitas.
3.
Infeksi tidak terjadi.
4.
Cedera tidak terjadi.
5. Integritas kulit klien kembali normal.
6. Klien menunjukkan perawatan diri yang
maksimal.
7.
Pengetahuan klien bertambah
DAFTAR PUSTAKA
SACHRIN, Risa M.
1969. Prinsip Keperawatan Pediatrik..Jakarta:EGC
Wong, Donna L DKK.
2009. Buku Ajar Keperawatan Periatri. Jakarta: EGC